label

Kamis, 21 Februari 2008

trend pendidikan

Bagaimana trend pendidikan di Indonesia?

Kebutuhan manusia akan spiritual telah dibaca oleh beberapa pelaku bisnis pelatihan dan pendidikan , banyak tawaran mengenai pelatihan pengembangan diri dan mengacu pada perubahan sikap mental yang diharapkan dapat menjadi solusi bagi peningkatan pendapatan. Berbagai latihan meditasi maupun yoga mulai ditawarkan di berbagai instansi dengan tempat pelaksanaan di hotel-hotel mewah sehingga pesertanya pun menjadi hak kalangan eksekutif.

Pemilihan sekolah yang berbendera keagamaan pun makin digemari masyarakat, sebutlah satu contoh MIN yang dahulu hanya dipandang sebelah mata, kini menjadi standart pendidikan dasar di Kota Malang, dan berimbas pada sekolah-sekolah Madarasah lain yang tidak kalah larisnya. Begitupun sekolah-sekolah Katolik tidak pernah kehilangan pamor dengan image kedisiplinannya.

Mengingat kembali ajaran pendidikan tentang konsep Taksonomi Bloom, dimana pendidikan harus memuat tiga aspek yaitu kognitif,afektif dan psikomotorik. Sungguh tidak mungkin jika pendidikan hanya mengutamakan segi kemampuan akademis saja tanpa ditunjang sikap dan pengembangan minat bakatnya.

Kennedy Nurhan dalam topik diskripsinya ”bandul makin menjauh” memaparkan bahwa ironis ketika masyarakat berharap bahwa pendidikan dapat menjadi sarana utama memanusiakan manusia, berbagai kebijakan di tanah air justru cenderung menjauh dari arus tersebut. Pemerintah hanya menjadikan pendidikan tak ubahnya komoditas ekonomi seperti dunia industri. Pemerintah hanya melihat hasil akhir pendidikan melalui Ujian Nasional tanpa melihat proses pendidikan itu terjadi di sekolah.

Issue yang beredar di masyarakat pun sangat mencoreng wajah pendidikan di tanah air dengan ditemukanya fakta guru mencuri soal, guru memberi kunci jawaban ke siswa, team sukses yang mengganti jawaban. Tetapi UN tetap ada bahkan telah diatur dalam permen diknas yang kedudukannya sangat kuat. Pemerintah seolah tidak perduli terhadap proses pembelajaran, bahkan ketika didapati kenyataan bahwa ada begitu banyak siswa tidak memenuhi standart yang ditetapkan, pemerintah berupaya meningkatkan nilai dengan melakukan peng-indeks-an.

Mengutip kembali uraian Kennedy Nurhan-Unisosdem, bahwa semangat untuk bertanya dan mencari jawab atas berbagai persoalan riil kehidupan ditenggelamkan oleh tuntutan menyiasati soal-soal pilihan ganda. Kemampuan meneliti yang menjadikan anak menjadi inovatif terhapus lewat pembelajaran model ”penyekapan”.

Pendidikan menjadi cenderung hanya mengandalkan kemampuan otak kiri tanpa memperdulikan pengembangan otak kanan dan kurang menghiraukan aspek nilai dan spiritualitas. Kualitas sumber daya menjadi sering dipertanyakan karena pemahaman pengetahuan sering sangat dipisahkan oleh nilai-nilai spiritual. Agama hanya menjadi sebuah kewajiban ritual yang terpisah dari kehidupan manusia. Etika pergaulan antar sesama maupun terhadap orang yang lebih tua menjadi sesuatu yang tidak perlu, Sumber daya manusia yang berkualitas dan memiliki hati nurani menjadi semakin sulit ditemukan.

Lalu bagaimana upaya pemberdayaan manusia bisa di dapatkan lewat jalur pendidikan? Bagaimana pendidikan dapat membekali peserta didik untuk mandiri, dan mampu bersaing di persaingan global? Apakah pendidikan di Indonesia sanggup menjawab tantangan inovasi tiada henti?


bersambung "Pendidikan di kota malang"


1 komentar:

Mas Guru mengatakan...

Memang, ada saat ini ada gejala meningkatnya kebutuhan akan spiritualisme di berbagai belahan dunia,khususnya di negara-negara maju. Namun, kita harus melihat latar belakang dari kemunculan gejala ini. Soalnya, bangkitnya kesadaran spiritualisme ini ditandai oleh semakin meningkatnya orang untuk mempelajari "agama-agama timur" yang notabene bukan diklasifikasikan "agama langit".
Menurut Mas Guru, fenomena bangkitnya spiritualisme ini terutama disebabkan oleh kemuakan orang-orang zaman sekarang terhadap budaya materialisme. Orang mulai merindukan nilai-nilai spiritualisme yang sangat menghargai zona kemanusiaan dari manusia, yang ini tersubordinasiken oleh budaya materialisme.
Persoalannya, apakah kita, yang disebut sebagai bangsa religius ini, mampu menjawab kebutuhan tersebut. Kalau isinya agama hanya dipenuhi oleh tafsir-tafsir pribadi tokoh agama yang ujung-ujungnya menimbulken permusuhan satu dan laennya, ya sama juga bo'ong.