label

Selasa, 12 Februari 2008

sekolah swasta menjerit

Ketika pengelola sekolah swasta diminta untuk memberikan diskripsi kondisi sekolahnya dengan sebuah kata, ada beberapa jawaban "hancur!"...."sekarat!"..."ngos-ngosan!"... Jawaban ini mungkin tidah berlaku bagi sekolah-sekolah swasta yang memiliki dukungan dana yang baik, menejemen yang tertata rapi, dan tentu saja pelayanan yang maksimal, sehingga menghasilkan kualitas yang baik. Lalu si hancur mengatakan "Bagaimana mungkin kami bisa meningkatkan dukungan dana sementara siswa makin tahun makin berkurang?". Si sekarat mengatakan juga mengatakan hal yang nyaris sama, "Bagaimana mungkin kami meningkatkan pelayanan sedangkan kami tidak sanggup menggaji guru (kata temen saya "pengajar") dengan baik. Si ngos-ngosan yang masih memiliki jumlah murid yang relatif banyakpun ikut memberi komentar. "Walaupun kami punya murid yang cukup tapi rasanya kami harus masih harus melakukan banyak hal, seperti promosi yang makan biaya tinggi, bikin proposal bantuan yang belum tentu dapet. Semua ini hanya supaya kami bisa tetap melangsungkan sekolah ini"

Kondisi sekolah swasta yang makin hari makin memprihatinkan, nampaknya makin terpuruk dengan hadirnya sekolah-sekolah negeri yang menjamur dengan menawarkan fasilitas yang lebih baik. Dukungan dana dari pemerintah nampaknya menjadikan pengelola sekolah negeri makin subur, belum lagi diijinkannya adanya pungutan sumbangan lain selain SPP. Tidak dapat dipungkiri bahwa keaadaan pasti menimbulkan iri bagi sekolah swasta yang harus membagi SPPnya untuk Gaji guru, perawatan sekolah dan proses pemelajaran. Taruhlah sekolah swasta yang hanya menarik spp sebulan seratus ribu rupiah dengan distribusi penggunaan dana yang begitu banyak sementara sekolah negeri yang juga menarik spp seratus ribu tanpa dibebani membayar gaji guru. Secara awam pun bisa sangat dipahami jika sekolah swasta tidak mampu lagi berpikir kualitas. Sementara masyarakat sekarang sudah sangat sadar akan pentingnya sekolah yang memiliki fasilitas , pelayanan, pengelolaan yang baik.
Keadaan ini jika terus menerus berlangsung, barangkali sekolah swasta tinggal menghitung hari kapan waktunya tiba (wah tragis bgt....). Kalau kita mau melihat kembali bagaimana dahulu kontribusi sekolah swasta yang ikut mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia nampaknya tidak lagi diperhitungkan oleh pemerintah. Belum lagi komersialisasi pendidikan yang semakin menuntut pengelola sekolah untuk arif menyikapi dan tentu saja berlomba meningkatkan mutu jika tidak ingin tergilas. Kalau sudah begini maka komentar bagaimana harus meningkatkan mutu jika tanpa dana jadi muncul lagi.
Mengharapkan pemerintah untuk ikut memikirkan kondisi sekolah swasta sepertinya tidak terlalu bisa diandalkan bagi sekolah yang sekarat. Mau tidak mau seperti kata Reinald Kasali dalam bukunya Change, "Tidak perduli seberapa jauh jalan salah yang anda jalani, putar arah sekarang juga". Guru yang mengadu nasib di sekolah swasta adalah aset yang harus dipelihara, karena itu tidak mungkin kita biarkan mereka mengajar dengan perut lapar. Siswa yang mempercayakan dirinya untuk dibinan menjadi tanggungjawab sekolah. Barangkali kondisi ini harus disadari penuh oleh pengelola. Sudah waktunya pengelola berpikir bagaimana mencari dana yang tidak tergantung dari penggalian dari ortu siswa, bagaimana mengelola menejemen sekolah yang baik termasuk berpromosi, menciptakan image yang baik pada masyarakat, menggali kurikulum yang sesuai tuntutan perkembangan peradaban.Yang semua akhirnya bermuara pada peningkatan mutu sekolah, kalau sudah begini masyarakat bisa memilih secara obyektif.

Tidak ada komentar: